Jumat, 09 Maret 2012
Oleh :
Ady Akbar
Sekitar seminggu yang lalu, ketika saya hendak menuju kampus, sebuah angkot melaju dengan kecepatan sedang. Saat itu saya dan beberapa mahasiswa juga anak sekolahan berada dalam satu angkot. Angkot yang kami tumpangi sesekali berhenti untuk menurunkan atau menaikkan penumpang sehingga penumpang juga harus sesekali bergeser dan berdempetan ketika akan ada penumpang yang naik ataupun turun. Tepat di depan saya dua orang anak dengan seragam sekolah tengah berbincang masalah pembiayaan pendidikan yang semakin hari semakin mencekik.
Terlepas dari cerita tersebut, kita memang melihat semrawutnya pendidikan yang terjadi di negara kita. Setiap menjelang tahun ajaran baru kita selalu menyaksikan betapa orang tua merasa kebingungan mencari tempat sekolah bagi putra-putri mereka. Bukan sekedar bingung mencari sekolah yang baik tetapi juga soal pembiayaan sekolah yang semakin tak terjangkau. Memang, kini semakin banyak bermunculan lembaga pendidikan berlabel sekolah unggulan, sekolah terpadu, sekolah bertaraf internasional dan masih banyak lagi. Tapi fakta lain juga menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak mampu membiayai pendidikan putra-putrinya juga semakin banyak.
Kini kita melihat hampir semua jenjang sekolah negeri telah menjadi lembaga komersial. Ketentuan untuk mewajibkan siapa saja yang telah berumur tujuh tahun agar masuk sekolah dasar, pada kenyataannya nampaknya dihalang-halangi karena untuk masuk sekolah dasarpun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Padahal jika kita jujur pada masa depan, sesungguhnya nasib dan masa depan bangsa ada di tangan anak-anak ini sebagai generasi penerus dan tombak kesejahteraan bangsa. Maka tugas pokok bangsa dan para pemangku kekuasaan adalah memberikan pelayanan pendidikan yang memadai. Sesuai dengan amanat Undang-undang yang menginstruksikan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% harus diimplementasikan untuk meningkatkan pendidikan secara nyata serta memberikan biaya pendidikan kepada setiap warga negara untuk jenjang sekolah dasar sesuai dengan pasal 31 UUD 1945.
Wacana sekolah gratis sempat membuat masyarakat gembira, namun kabar tersebut bagai angin lalu. Kenyataan di lapangan masih banyak sekolah yang memungut sumbangan, apakah itu berupa uang wakaf gedung, uang pangkal, dan sumbangan-sumbangan lainnya. Sekolah gratis hanyalah sebuah kamuflase yang digunakan penguasa untuk menaikkan pencitraannya saja, padahal kenyataannya omong kosong. Taruhlah biaya SPP gratis, tetapi tetap saja orang miskin masih harus mengeluarkan biaya untuk tetek bengeknya yang sudah pasti sangat memberatkan.
Di sisi lain, dana BOS sudah digulirkan dan anggaran terus dikucurkan, tetapi lagi-lagi hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Gembar-gembor besarnya anggaran yang dikucurkan tidak sekeras dengan suara rengekan anak-anak miskin yang memohon kepada orang tuanya untuk sekolah. Barangkali dana BOS dewasa ini hanya diperuntukkan untuk para bos yang memegang kekuasaan.
Jika kita tengok kebelakang, fakta sejarah mencatat bahwa Indonesia adalah negara yang dipenuhi para manusia cerdas, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Adam Malik dan masih banyak yang lain, yang dimana kecerdasan tersebut digunakan semata-mata untuk rakyat, bukan malah meraup keuntungan untuk kantong sendiri, yang banyak terjadi saat ini. Mungkin yang lebih tepat, para pejabat menggunakan kecerdasannya untuk mengencingi rakyat sendiri.
Lain dulu lain sekarang, kini tetesan air mata orang-orang miskin yang memohon kemudahan untuk merasakan sekolah seolah membuat para penguasa semakin gila menghambur-hamburkan uang yang tidak sepantasnya mereka rasakan,”pemerintah narsis, rakyatpun meringis” barangkali adalah sebuah kalimat yang cocok buat para penguasa sekarang ini. Padahal faktor majunya suatu negara dapat terpacu dengan banyaknya orang-orang berilmu.
Mahalnya pendidikan di negeri ini barangkali karena kegagalan fungsi negara, yaitu ketidakmampuan untuk memberikan subsidi sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenyam pendidikan. Dengan kata lain, ini merupakan kegagalan fungsi negara untuk memberikan pendidikan semurah-murahnya kepada masyarakat.
Atas alasan krisis ekonomi berkepanjangan dengan berbagai aspeknya, negara berpikir tidak lagi perlu memberikan subsidi pendidikan. Krisis ini diperparah dengan tidak kunjung membaiknya perekonomian Indonesia di tengah negara-negara lain yang sudah bangkit. Oleh karena itu, seakan-akan absah jika negara menghendaki pemotongan anggaran pendidikan bagi masyarakat.
Di saat masyarakat menghadapi krisis moneter yang berkepanjangan, nampaknya penerapan kebijakan pendidikan semakin mempersulit dan membelit ekonomi masyarakat. Kebutuhan yang sifatnya periperal dan jauh dari usaha pencerdasan di sekolah, seperti tas, sepatu, uang gedung, sumbangan pembinaan, dan sejenisnya menjadi tanggung jawab masyarakat. Anehnya, hal itu tidak dibarengi dengan profesionalisme dari pihak sekolah.
Mahalnya biaya pendidikan di negeri ini secara tidak lansung pemerintah tidak memberi ruang pendidikan bagi orang miskin, hal itu sama halnya dengan usaha untuk melarang orang miskin menikmati pendidikan. Padahal jika kita amati dilapangan, masih banyak masyarakat miskin yang memiliki kemauan untuk menyekolahkan anak-anaknya tetapi tersandung oleh permasalahan finansial karena mahalnya biaya pendidikan.
Usaha untuk menyelenggarakan pendidikan gratis sebenarnya bisa saja direalisasikan selama adanya kekonsistenan pemerintah terhadap undang-undang. Pemerintah harus merekstrukturisasi biaya pendidikan untuk pendidikan itu sendiri, mendistribusikan dana tersebut kepada sekolah-sekolah secara adil sehingga sekolah dapat menentukan kebijakan sekolahnya sendiri. Selain itu, pemerintah juga harus lebih mengedepankan kebijakan pendidikan yang dapat mengakomodasi masyarakat kelas bawah, dimana pemerintah harus merumuskan kebijakan pendidikan yang berbiaya sangat murah sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat miskin. Hal ini sebenarnya mudah dilakukan dengan meminimalisir kebutuhan-kebutuhan periperal seperti seragam dan sebagainya karena hal tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha pencerdasan peserta didik serta meniadakan pungutan lain seperti sumbangan untuk biaya pembangunan gedung yang sejatinya adalah sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Di sisi lain, pemerintah juga harus berusaha mempercepat laju perekonomian agar dapat dinikmati oleh masyarakat secara umum, karena selama ini nikmat perekonomian hanya dapat dinikmati masyarakat yang kaya. Dengan usaha ini, kesenjangan antara Si miskin dan Si kaya dapat dihilangkan. Pada akhirnya seluruh lapisan masyarakat dengan kemudahan akses ekonomi, dapat menikmati pendidikan sehingga usaha untuk mencerdaskan anak bangsa tidak lagi menjadi sebuah mimpi dan angan-angan.