Jumat, 13 April 2012
Waspadai NKK Gaya Baru
Oleh:
Andi Ahmadi
Kebijakan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) pertama kali disahkan pada tahun 1979 oleh Mendikbud Dooed Yusuf. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah ini adalah buntut dari gerakan mahasiswa pada saat itu yang mulai berani menyatakan dengan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional yang kala itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Kebijakan NKK dikeluarkan satu paket dengan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaaan). Konsep ini mencoba mengarahkan aktivitas mahasiswa hanya terfokus pada kegiatan akademik dan menjauhkan dari aktivitas politik dan kemasyarakatan, karena dianggap mampu membahayakan rezim, sehingga pemerintah melalui Pangkopkamtib membekukan seluruh lembaga Dewan Mahasiswa.
Di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya meredam sifat kritis mahasiswa kembali dilakukan. Meskipun tidak sama persis dengan konsep NKK/BKK kala itu, namun tujuannya adalah sama, yakni “membungkam” mahasiswa dengan cara yang sedikit halus. Akibat dari NKK gaya baru tersebut, tak ayal hanya sejumlah kecil saja mahasiswa di Indonesia yang masih mempunyai sifat kritis, kebanyakan dari mereka apatis terhadap organisasi, terlebih terhadap yang namanya “pemerintahan”. Di antara NKK gaya baru tersebut adalah:
- Sistem Belajar Mengajar yang Membunuh Karakter
Dalam proses belajar-mengajar sudah seharusnya terjadi proses interaksi di dalamnya, baik interaksi mahasiswa dengan mahasiswa lain, atau mahasiswa dengan dosen. Sehingga ilmu yang diajarkan mampu dipahami dengan baik oleh mahasiswa dan dosenpun tidak terkesan hanya sebatas mengajar. Namun, tidak sedikit dosen yang tidak menerapkan hal demikian, sering kita jumpai dosen yang bersifat kaku ketika mengajar, bahkan marah ketika ada mahasiswa yang bertanya. Akhirnya setiap hari mahasiswa hanya disuap dengan argumen-argumen dosen tanpa bisa disanggah, layaknya prajurit yang menerima titah dari rajanya. Jika hal ini yang terjadi, maka akan melunturkan sifat kritis dari mahasiswa. Selain itu, jika kita melihat jadwal kuliah mahasiswa, terkadang ada yang hampir tidak ada hari libur (sabtu dan minggu tetap masuk), sehingga tidak ada kesempatan bagi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan organisasi. Selayaknya hari sabtu dan minggu adalah hari untuk kegiatan ekstrakurikuler.
2. Penerapan Semester Pendek
Kalau dulu kuliah 5 atau 6 tahun adalah sesuatu yang wajar, sekarang hal tersebut merupakan “aib”. Melalui program semester pendeknya, kampus berusaha meluluskan mahasiswanya secepat mungkin, yakni kurang dari 4 tahun. Tak ayal mahasiswa berlomba-lomba untuk menyelesaikan studinya dalam waktu yang singkat dan melupakan semua aktivitas yang tidak berhubungan dengan kuliahnya (baca: organisasi). Ditambah lagi jika ada tawaran “posisi” ketika selesai masa studi, maka tidak ada alasan lagi bagi mahasiswa untuk berlama-lama di kampus. Kondisi ini menyebabkan banyak sarjana di Indonesia yang mempunyai mental lemah dan kepekaan sosial yang kurang. Jangankan memikirkan masa depan bangsa, untuk memikirkan masyarakat di sekitar saja tidak sempat. Sebenarnya program ini bisa menjadi program yang bagus ketika diimbangi dengan program-program penempaan diri, yaitu program yang tidak hanya mengarah pada aspek kognitif semata.
Kuliah cepat OK, asalkan berisi.
3. Dilaksanakannya Program Kewirausahaan
Sepintas program ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa, karena mampu menumbuhkan jiwa mandiri dan jiwa kewirausahaan. Namun jika kita cermati, ternyata program ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap pudarnya semangat berorganisasi. Bagaimana tidak, kalau sudah berhubungan dengan bisnis, maka slogan “waktu adalah uang” akan benar-benar tertancap dalam pemikiran seseorang. Sehingga perlahan-lahan akan melupakan fungsi mahasiswa yang sebenarnya. Namun kondisi ini tidak mutlak, karena ada juga mahasiswa wirausaha yang tetap konsisten dengan gerakan mahasiswa, meskipun sangat sedikit.
4. Upaya Pembekuan Lembaga Kemahasiswaan dari Birokrasi Kampus
Upaya menidurkan lembaga kemahasiswaan tidak berhenti sampai poin di atas saja. Mahasiswa yang mempunyai komitmen kuat dalam berorganisasi tidak akan mempan dengan 3 poin di atas, sehingga ada upaya membekukan lembaga kemahasiswaan dari birokrasi kampus dengan mengeluarkan kebijakan yang rumit dalam hal anggaran, baik itu dana matriks maupun bantuan yang lain. Sehingga tak jarang mahasiswa yang “cuti” dari organisasi dikarenakan kelelahan mencari dana untuk kegiatan. Dalam hal penyediaan sarana dan prasarana pun pihak kampus tidak memberikan kelonggaran bagi lembaga kemahasiswaan untuk menggunakannya, terlebih untuk lembaga kemahasiswaan eksternal kampus. Sikap acuh birokrasi terhadap lembaga kemahasiswaan juga merupakan upaya untuk mengubur lembaga kemahasiswaan secara perlahan.
Ketika upaya-upaya tersebut berhasil, maka mahasiswa akan kehilangan identitasnya. Fungsi mahasiswa sebagai iron stock, agen of change, dan agent of social control sudah dipastikan akan menguap begitu saja. Sejarah telah menorehkan dengan tinta emas bahwa mahasiswa selalu berada di garda terdepan dalam mengusung sebuah perubahan. Sehingga mutlak bagi mahasiswa memiliki peran sebagai sebagai iron stock, agen of change, dan agent of social control ketika ingin melakukan perubahan di negeri tercinta ini. Kita adalah pemilik sah negeri ini, maka jangan pernah menutup mata dan telinga kita dengan kondisi bangsa yang mulai terseok-seok ini.
Salut buat LSIP yang semakin maju beberapa tahun terakhir ini. . .
BalasHapus#klaw boleh saran, sebaiknya blog lsip unhalu menggunakan fitur read more.
silahkan berkunjung balik http://infobuatkalian.blogspot.com/